"Terbata berkata-kata, mengucapkan syukurpun dieja. Menggagap kata, mulut kelu hingga mata hampir saja enggan berkedip. Segala proses beku membatu, di bening abjad pun sering mengeluh."
Kehilangan Sebuah Nama
Menuju pos polisi terdekat
"Apa yang hilang?"
"Sebuah nama"
Suaraku lirih, nyaris tak terdengar
"Terakhir diletakkan di mana?"
"Di sini" jawabku mendekap dada
Tanyanya dingin, bernada datar
"Kapan anda sadar bahwa telah hilang?"
"Mungkin kemarin, waktu bulan penuh"
Linglung,
"Apa anda curiga dengan sesuatu?"
"Tidak, malam itu justru teramat ganjil. Sepi. Hanya detak yang tiba-tiba melemah"
Krak.. krak...grek.. grek.. krak.. krak...
Suara mesin ketik memburu. mencatat laporan kehilangan secara singkat
: Telah hilang sebuah nama ketika purnama
Ruang Gelap, 28 Mei 2008
Perang Telak, Pada Siapa
Mata nanar memuja do'a, rintihan iba tak pernah sepi
Kaleng lonceng terisi penuh, keringat para pendosa
Licin, bau hampir anyir
Surat berisi ayat pasal salah, redam mulut pengkhotbah
Tengah malam.. di tengah laga, sebuah perang alpa senjata
Menimang sebuah kepala sambil bermain nujum
Lingkar sasar lubang hati, tanpa nurani
Siapa si pemuja perang, manusia aneh bertungkai tajam
Mungkin dahulu mereka lahir sebagai bayi-bayi
Tanpa ari-ari, Tanpa hati, Tanpa arteri
Dadanya mlompong, bolong-bolong
Oh kemarau tanpa angin, di mana gemuruh hujan
Usai kalah perang pada monster penguasa negri
Alirkan saja berliter darah dari perut-perut tirus
Menuju nirwana tanpa melewati lorong-lorong kumuh
Ruang Damai, 22 Mei 2008
Tengah Malam ini akan terjadi lagi..
"Negara mencekik rakyatnya sendiri"
Mati Rasa
Nyala merah
---- Bekas-bekas luka
Retak nyaris patah
Mati hingga kaku
21 Mei 'o8
Sepucuk Surat yang Terkapar
Lusuh, rapuh, menyerpih saat banjir embun senja, kemudian
Dituang pada segelas cinta yang lama suram
-- Mantra
Udara gigil, pekat dan anyir
Seperti de javu perkiraan mimpi dan nyata
Ia menulis ulang walau tersisa sia belaka
Terkulai membentuk garis hati yang patah tengah
--Kabar
Mengulir pada batang-batang sulur
Sepucuk surat kehilangan ranting kata-kata
Terkapar pada dada penuh dekap dan makna
Ruang Gelap, 15 Mei 2008
Puisi dan Do'a
sedemikan aku membenci diksi
--puitis---
ratapku tak pernah meminta
keluhku tak mau berkisah
--do'a--
kata-kata pecah serupa kristal
yang jatuh tepat di antara harap
Ruang Gelap, 16 Mei 2008
Pada sebuah A, S, N
Ketika sebuah sistem dipermainkan
Ketika sebuah peraturan dipertaruhkan
Dan berujung pada egoisme belaka
Keabu-abuan antara benar dan salah
Lagi-lagi...
Para penderita maag akut memegang perut
Sambil berteriak "Memangnya di perut kami cuma Perlu Cacing!!!"
13 Mei 2008
Pulang Pergi [Lagi]
Di malam yang tak berkelindan bintang
Ia rebah telentang menawarkan dada untuk kusinggah
Sungguh aku ingin pergi [lagi] meninggalkan rumah
Atau sekedar merenangi mimpi
Mencari jiwa kanak kanakku
Kenangan itu datang seperti pembunuh, menikamku berkali-kali.
Semakin kelam dengan layar langit yang semakin tinggi
Aku meracau..
Menjumpai mimpi yang berkali-kali gigil,
Membungkus keringat yang begitu dingin
Berlarian di tanah lapang
Tanpa alas kaki, telanjang
Mengejar angan layang
Hingga senja memanggil pulang [lagi]
Dengan tubuh penuh keringat hangat.
Ruang Gelap, Mei 2008
Untukmu, Bunda
Di tanganmu
terrajut senja untukku kelak
Di lilitan jilbabmu
terjuntai nada tidurku kelak
Di luas dadamu
tertanam asa dan mimpiku kelak
Di kerut senyummu
Tak pernah terhitung hariku kelak
Jika kelak akhirnya tiba
Do'amu tak akan pernah tersungkur
Ataupun terukur
.......................Bunda..........................
di Ruang Gelap, 13 Mei 2008
Ketika Bertandang Pulang
Sebuah pesan singkat, dititipkan di celah-celah rumah.
Di sana tertulis "Cinta, aku pulang menuju kekasihku"
Lantas kugulung kertas yang kumal itu. Karna aku lama tak bertandang pulang.
Siapa?
Untuk Siapa?
Sesekali aku ingat rumahku terang, bising dan hangat saat bulan tersisa setengah. Saat ia selalu datang menyelinap lewat kata-kata "akulah lelaki muram terbelah bulan"
Malam ini bulan sedang penuh tidak mungkin itu kau.
Atau aku yang selalu terlambat pulang. Dan menyambut kedatanganmu
Kau datang lagi?
Kupandangi bingkai pintu dan celah jendela yang telah kosong.Tidak kutemui wajahmu di sana. Hanya belulang rusuk yang hampir busuk
:Mungkin itu kau atau seseorang yang lain
Kado Spesial
Bunyi-bunyian slendro pentatonis
Gamelan jawa mengiringi
Sepasang pengantin
Berbalut busana khas jawa
Berkuntum-kuntum melati
Mencuri aroma wangi
Bertaburan gemerlap puisi
Yang ditiupkan dua dayang kecil
Di ruang rias seorang pemangku adat
Membacakan mantra milik mbah marjuki
Sebagai penghulu skaligus pawang hujan
Layak Raja dan Permaisuri
: turun menari
Sambil mengulum senyum
12 Mei 2008
Tragedi Bunuh Diri Karna Puisi
Seutas kalimat puitis ia curi diam-diam
Lalu disimpan di antara lipatan lengan
Di rumah-rumah ibadah
Puisi baru tlah ia racik dan dijadikan ta'jil
Lengkap dengan mantra
Yang ia petik dari ranting malam
Tanpa dimasak matang
Hanya direndam air setengah lantang
Iapun lahap sendiri, dikecap cepat
Sambil garuk-garuk pantat
Esok hari Ia mengaduh... semua orang lantas gaduh
Perutnya menggembung mungkin keracunan
Lilitan sakit berhari-hari menggigit otak yang disepuh
"Aku tak tahan...!"
Ia berdiri berteriak lantang lantas menulis wasiat
"Aku tidak akan menyerah...! "
"Wahai para Bijak, aku bukan petugas Tinja"
teriaknya parau
Beberapa parang yang berkarat ia sajikan
Untuk dilahap leher dan kemaluannya
Malam itu terjadilah tragedi
Dan adzan berseru cibir pada mayat nyinyir
9 Mei 2008
Gelas
Seliter dingin mendiami
Membulir embun
Runtuh tak lancar
Kaca ruah pecahan derak
Pada bening teramat serak
Sekilas terkias bias
Itukah wajah serumah hampa
Mei 2008
Pesan Pendek untuk Ibu
Ibu... isakmu merdu mendayu
Temaniku dalam buaian malaikat kecil
Ibu.. kuatkan engkau di sana
Di sini aku bisa berlari
Tak perlu lagi titah
Ibu... dalam mimpi
Aku janji pasti berjumpa
Ibu.. airmatamu tlah kujadikan telaga di surga
Suatu saat ajariku berenang di sana
4 Mei 2008
Lia, tegarlah kau kawan
Tangis dan dukamu tidak akan pernah sia-sia.
Membagi Lingkaran
Menyudut 270 derajat
Bersekat-sekat penuh celah
Sudut siku 90 derajat
Tanpa ruang yang membelah
Dijumlah
: 360 berputar sempurna
Cerita Yang Tertinggal
Lalu berhenti di sebuah awan merah
Melumat habis tubuh
Membagi peluh yang hangat
Dan hati yang hampir beku
Lalu jatuh memberat
Membelah awan
Peraduan kita
Selingkuh
Menyesakkan suka
Juga duka
Saat luka-luka
Makin membias
Erat peluk perlahan lepas
: Wajahmu samar, seperti kisah selintas camar
Lelaki Kecil dengan Punggung Kura - Kura
Lelaki kecil berjalan meniti tepi jalan sambil menggandeng bapak Ingus yang naik turun ia biarkan sambil mengingat hitungan mundur Tangan la...
-
Berkata senja pada pagi "Aku lelah menjadi sesudahmu" Dengan tangisnya yang luruh "Aku ingin menjadi kamu" Waktu lama me...
-
Bagaimana bisa aku bercakap-cakap sedangkan ruangan ini begitu kecil dan kau melayang-layang di luar sana Bagaimana aku me...