Perjanjian itu bukan antara kau dan aku, tapi aku dan langit
Langit yang menangis diam - diam di balik punggungmu
Tak mampuku tinggikan kepala, tanda tangani perjanjian itu
Mana pantas aku mengaku sederajat dengan luasnya langit
Aku tak lagi bernyali, relakan yang bukan milikku
Di balik tengkukmu ada mendung terbendung
Ia selalu tunduk pada titahmu
Dan ini musimku runtuh di geram gemuruh
Yang tak pernah kau bacai
Maka dengan kesadaran dan kerelaan hati
Aku pasrahkan diri digenggam jejari langit
Entah ini pertanda kalah atau apa.
Tapi sungguh aku tak ada daya
Ketika kau berkali kali kiblatkan kejujuran
Agar aku ingkar pada janji itu
Terpaksa, menindih kepala juga dada
Segala sesuatu harus dikekang keterpaksaan
Tak ada angka bulat untuk sebuah keputusan
Bukankah peperangan ada di mana saja
Bahkan di dalam jasad dan juga jiwa
Bisakah sedikit kau pahami, langit
Sebutmu penjaga gerbang surga
Dan aku hanya hujan gerimis kecil
Yang sejenak menggenang di dada
Mungkin tiada harap, selain mimpi yang meluap
Perjanjian telah di buat, bebat diri pada jarak
Inikah bermuara takdir perjumpaan?
Surabaya, Okt 2009
"Terbata berkata-kata, mengucapkan syukurpun dieja. Menggagap kata, mulut kelu hingga mata hampir saja enggan berkedip. Segala proses beku membatu, di bening abjad pun sering mengeluh."
Sajak sederhana buatmu, Ibu
Kepalamu pangkal kelopak kembang anakmu
Dadamu tersungkur jiwa aku yang berlarian,
Semerawut
Pangkuanmu tempatku merajuk
Sering kutipu sampai kau terbujuk
Laku langkah ayah ladang surgamu
Dan Tapakmu rumah aroma surgaku
Aku rindu rumah, ibu
Terngiang ayat bijakmu
Tapi aku sering ingkar
Cepat berlalu melupa salah
Kunci rumah sudah kau cabut dari lobang
Karna anakmu pulang terlampau larut
Dan kaupun pasti lelah menunggu
Mengendap-endap, mencurimu
Mencuri mimpi di kerut usia
Tentang angan anak-anakmu
Ibu
Kasihmu terlampau sederhana
Untuk kubaca
Tapi
Pelukmu terlampau megah
Untuk ku selalu rebah
Surabaya, 23 Oktober 2009
46 usia ibuku sekarang
Dadamu tersungkur jiwa aku yang berlarian,
Semerawut
Pangkuanmu tempatku merajuk
Sering kutipu sampai kau terbujuk
Laku langkah ayah ladang surgamu
Dan Tapakmu rumah aroma surgaku
Aku rindu rumah, ibu
Terngiang ayat bijakmu
Tapi aku sering ingkar
Cepat berlalu melupa salah
Kunci rumah sudah kau cabut dari lobang
Karna anakmu pulang terlampau larut
Dan kaupun pasti lelah menunggu
Mengendap-endap, mencurimu
Mencuri mimpi di kerut usia
Tentang angan anak-anakmu
Ibu
Kasihmu terlampau sederhana
Untuk kubaca
Tapi
Pelukmu terlampau megah
Untuk ku selalu rebah
Surabaya, 23 Oktober 2009
46 usia ibuku sekarang
Penanda Menuju Pasrah
Dimana letak kepasrahan itu
Kebebasan memiliki diri
Sketsakan harap bermimpi
Kepulanganku adalah mutlak
Ruang suam amarah mengerak
Kotak mantra disusun rapih meninggi
Jatuh berantakan tersapu ringkih waktu
Di mana kutuju rindu
Biruku semburan ungu
Pilu meragu tapi angkuh
Wajahku seperti cerminmu
Berpeluk jiwa aku dan kau
Jasad terlepas entah dimana
Keharusan meratapimu bebas
Sungguh aku belum bisa akur
Pada jarak yang telah diukur
Mencacati judul kisah terkubur
Rupa duka tentang kau kabur
Langkah masih sempoyongan
Berpeluk dekapan dada
Redamkan tangisan diri
Kepulangan berarti kembali
Susuri tempat dulu kau berdiri
Berdiam mencuri pandang aku
Ketika fasih mencibir, guratkan caci
Mata memerah, kau baca benci
Tapi tak kau lihat di sana
Genangan keruh, mengombak
Pasang.. bukan surut
Tak ada kematian yang pasrah
Begitupun kehilangan yang lepas
Puing puing jiwa kususun ulang
Tapi masih banyak keping hilang
Mungkin sengaja kau bawa
Menuju pada puncak kata
Wahai kembara luka
Tangan gaib itu tak juga gapai kau
Aku tak ingin segera tuntas ikhlas
Kembalimu adalah kepulanganku
Akh...
Belum juga ku mampu sadarkan diri
Yang ada cuma aku dan rupa imaji
Surabaya, 22 Oktober 2009
Kebebasan memiliki diri
Sketsakan harap bermimpi
Kepulanganku adalah mutlak
Ruang suam amarah mengerak
Kotak mantra disusun rapih meninggi
Jatuh berantakan tersapu ringkih waktu
Di mana kutuju rindu
Biruku semburan ungu
Pilu meragu tapi angkuh
Wajahku seperti cerminmu
Berpeluk jiwa aku dan kau
Jasad terlepas entah dimana
Keharusan meratapimu bebas
Sungguh aku belum bisa akur
Pada jarak yang telah diukur
Mencacati judul kisah terkubur
Rupa duka tentang kau kabur
Langkah masih sempoyongan
Berpeluk dekapan dada
Redamkan tangisan diri
Kepulangan berarti kembali
Susuri tempat dulu kau berdiri
Berdiam mencuri pandang aku
Ketika fasih mencibir, guratkan caci
Mata memerah, kau baca benci
Tapi tak kau lihat di sana
Genangan keruh, mengombak
Pasang.. bukan surut
Tak ada kematian yang pasrah
Begitupun kehilangan yang lepas
Puing puing jiwa kususun ulang
Tapi masih banyak keping hilang
Mungkin sengaja kau bawa
Menuju pada puncak kata
Wahai kembara luka
Tangan gaib itu tak juga gapai kau
Aku tak ingin segera tuntas ikhlas
Kembalimu adalah kepulanganku
Akh...
Belum juga ku mampu sadarkan diri
Yang ada cuma aku dan rupa imaji
Surabaya, 22 Oktober 2009
Kepulangan menyeret jejak
Hari menguzur matahari sinar redup
Jejak berputar di lingkar simpang tujuh
Di mana gang jalan satu arah serupa arteri
Mendenyutkan detak kerinduan yang basah
Tibalah kemalaman kota
Berdenyir silir-silir angin makin melenakan
Tubuhku bayangan semu kehilangan kepak
Sayap berbulu lepas tak meninggi
Disembur wewarna ungu lembut langit
Terbangku bermata sebelah
Tak mampuku tangkap mangsa di balik pepohonan
Ladang padang tak menerang di ketinggian sana
Sungguhkah aku melepas jiwa bebas
Kesejatian mimpi tetaplah hanya coretan harap
Aku menuju kepulangan
Tapi sungguh tak ada pembeda jeda waktu
Sejak kepergian yang memanggul sekarung lelah
Tubuh kota menjadi turbin listrik
Berputar ulang diguyur air-air suling
Roh pinggir kota berbentuk gitar petik
Mendayu lagu sendu senyum garing
Kemalangan atau kenikmatan ini
Merasuk hangat pelukan sang jenaka
Di luaran, jiwa peratap sibuk mencibir
Berdekap damai pada rindu yang lelap
Perbatasan, rindu tabu rayu meragu
Tak ada yang patut di sembunyikan
Perjanjian tetap nyala dirayakan
Dan kepulangan bawa kembali jejak
Perjalanan, 21 Oktober 2009
Jejak berputar di lingkar simpang tujuh
Di mana gang jalan satu arah serupa arteri
Mendenyutkan detak kerinduan yang basah
Tibalah kemalaman kota
Berdenyir silir-silir angin makin melenakan
Tubuhku bayangan semu kehilangan kepak
Sayap berbulu lepas tak meninggi
Disembur wewarna ungu lembut langit
Terbangku bermata sebelah
Tak mampuku tangkap mangsa di balik pepohonan
Ladang padang tak menerang di ketinggian sana
Sungguhkah aku melepas jiwa bebas
Kesejatian mimpi tetaplah hanya coretan harap
Aku menuju kepulangan
Tapi sungguh tak ada pembeda jeda waktu
Sejak kepergian yang memanggul sekarung lelah
Tubuh kota menjadi turbin listrik
Berputar ulang diguyur air-air suling
Roh pinggir kota berbentuk gitar petik
Mendayu lagu sendu senyum garing
Kemalangan atau kenikmatan ini
Merasuk hangat pelukan sang jenaka
Di luaran, jiwa peratap sibuk mencibir
Berdekap damai pada rindu yang lelap
Perbatasan, rindu tabu rayu meragu
Tak ada yang patut di sembunyikan
Perjanjian tetap nyala dirayakan
Dan kepulangan bawa kembali jejak
Perjalanan, 21 Oktober 2009
Menisankan cerita yang terluka
Cerita yang sengaja kuberai
Adalah kehendak menuju kebebasan diri
Setibanya aku di kota pertama
Di perjalanan menuju tempat menisankan kisah
Aku semakin tersesat pada warna hijau pekat
Tak ada, tak kutemukan sekat
Antara kenangan dengan tubuhku
Di mana bisa kumakamkan jiwa yang sekarat
Tiap sudut kota itu penuh jejak sajak, syahdu lagu dan lembut laku
Kematian datang tiba-tiba meninggalkan sayat yang dalam
Semakin tak berjarak dan semakin terasa lekat
Kuhirup udara suam bukit padang rumput
Ada yang semakin melumpuh dalam diri
Ingin yang semakin ringkih
Kulanjutkan lagi perjalanan
Di kota beraroma tembakau, hingga lelah makin terendus
Berharap menemukan pohon berkulit lepas
Agar nanti kutambalkan selembar cerita di sana
Payah, jejak itu kembali menguntit
sungguh yang ada hanya baumu
Keluk asap itu merasuk di dada penuh kenang
Aroma tembakau penuhi ruangan
Ketika kau bercumbu dengan kata dan mantra
Aku selalu cemburu pada kalimat kata dan puisi
Walau aku selalu siapkan secangkir seduhan kopi
Rokok dan kopi bagimu adalah bahan bangunan sempurna
Kepul dan keluknya seperti kata yang berputar liar di kepala
Pekat dan pahitnya menjadi tinta yang menjalar di pena
Lancarkan cairan tinta yang kadang laju tersendat
Rindu tabu itu membuai lagi sepi diri
Memburu waktu yang memutar-mutar ragu
Dikuburkan atau biarkan saja rubuh sendiri
Mengabdi pada muka duka yang bersemu kejam
Perjalanan, Oktober 2009
Adalah kehendak menuju kebebasan diri
Setibanya aku di kota pertama
Di perjalanan menuju tempat menisankan kisah
Aku semakin tersesat pada warna hijau pekat
Tak ada, tak kutemukan sekat
Antara kenangan dengan tubuhku
Di mana bisa kumakamkan jiwa yang sekarat
Tiap sudut kota itu penuh jejak sajak, syahdu lagu dan lembut laku
Kematian datang tiba-tiba meninggalkan sayat yang dalam
Semakin tak berjarak dan semakin terasa lekat
Kuhirup udara suam bukit padang rumput
Ada yang semakin melumpuh dalam diri
Ingin yang semakin ringkih
Kulanjutkan lagi perjalanan
Di kota beraroma tembakau, hingga lelah makin terendus
Berharap menemukan pohon berkulit lepas
Agar nanti kutambalkan selembar cerita di sana
Payah, jejak itu kembali menguntit
sungguh yang ada hanya baumu
Keluk asap itu merasuk di dada penuh kenang
Aroma tembakau penuhi ruangan
Ketika kau bercumbu dengan kata dan mantra
Aku selalu cemburu pada kalimat kata dan puisi
Walau aku selalu siapkan secangkir seduhan kopi
Rokok dan kopi bagimu adalah bahan bangunan sempurna
Kepul dan keluknya seperti kata yang berputar liar di kepala
Pekat dan pahitnya menjadi tinta yang menjalar di pena
Lancarkan cairan tinta yang kadang laju tersendat
Rindu tabu itu membuai lagi sepi diri
Memburu waktu yang memutar-mutar ragu
Dikuburkan atau biarkan saja rubuh sendiri
Mengabdi pada muka duka yang bersemu kejam
Perjalanan, Oktober 2009
Bukan Ruang Tamu
Maaf..
Di dalam penuh sesak
Aku bukan ruang tunggu
Lantas bisa kau masuk tanpa permisi
Aku juga bukan ruang tamu
Yang selalu tersedia secangkir kopi
Silahkan tunggu di luar
Okt 2009
Di dalam penuh sesak
Aku bukan ruang tunggu
Lantas bisa kau masuk tanpa permisi
Aku juga bukan ruang tamu
Yang selalu tersedia secangkir kopi
Silahkan tunggu di luar
Okt 2009
Biarkan Sejenak Terdiam
Kita hanya bisa pasrah terdiam
Membekap kita yang sembunyi dalam sekam
Simpan luapan bara cerita yang terpaksa dibungkam
Hingga waktu melemparkan kita ke jurang teramat curam
Sept - Okt 2009
Membekap kita yang sembunyi dalam sekam
Simpan luapan bara cerita yang terpaksa dibungkam
Hingga waktu melemparkan kita ke jurang teramat curam
Sept - Okt 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)
Lelaki Kecil dengan Punggung Kura - Kura
Lelaki kecil berjalan meniti tepi jalan sambil menggandeng bapak Ingus yang naik turun ia biarkan sambil mengingat hitungan mundur Tangan la...
-
Berkata senja pada pagi "Aku lelah menjadi sesudahmu" Dengan tangisnya yang luruh "Aku ingin menjadi kamu" Waktu lama me...
-
Bagaimana bisa aku bercakap-cakap sedangkan ruangan ini begitu kecil dan kau melayang-layang di luar sana Bagaimana aku me...